CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Sabtu, 24 Mei 2008

TEKNOLOGI PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM

Keluarnya Inpres No. 1/2006 mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar disambut baik oleh kalangan pengusaha swasta, BUMN serta perbankan untuk terjun dalam bisnis ini. Potensi pengembangan energi alternatif seperti biofuel/diesel di Indonesia sangatlah besar, dimana kebutuhan bahan bakar minyak baik untuk kepentingan industri maupun individu memiliki kecenderungan terus mengalami peningkatan. Selain itu, elastisitas permintaan energi seperti BBM ataupun listrik bersifat inelastis. Artinya kenaikan harga tidak banyak mempengaruhi penurunan permintaan. Hal ini terbukti, walaupun pemerintah selama tahun 2005 menaikkan harga BBM sebanyak 2 kali dengan kenaikan lebih dari 100%, permintaan akan bahan bakar tidak mengalami penurunan yang berarti.


ALGA LAUT SEBAGAI BIOTARGET INDUSTRI
Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km. Didalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan air maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga.

Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.

Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum Muticum yang mengandung senyawa alginat yang berguna dalam industri farmasi. Pemanfaatan berbagai jenis alga yang lain adalah sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik.

Alga Laut sebagai Sumber Makanan

Kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam alga merupakan sumber mineral dan vitamin untuk agar-agar, salad rumput laut maupun agarose. Agarose merupakan jenis agar yang digunakan dalam percobaan dan penelitian dibidang bioteknologi dan mikrobiologi.

Potensi alga sebagai sumber makanan (terutama rumput laut), di Indonesia telah dimanfaatkan secara komersial dan secara intensif telah dibudidayakan terutama dengan tehnik polikultur (kombinasi ikan dan rumput laut).

Alga Laut sebagai Adsorben Logam Berat

Pemanfaatan sistem adsorpsi untuk pengambilan logam-logam berat dari perairan telah banyak dilakukan. Beberapa spesies alga telah ditemukan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mengadsorpsi ion-ion logam, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk sel mati (biomassa). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam alga mampu melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama adalah gugus karboksil, hidroksil, sulfudril, amino, iomodazol, sulfat, dan sulfonat yang terdapat didalam dinding sel dalam sitoplasma.

Menurut Harris dan Ramelow (1990), kemampuan alga dalam menyerap ion-ion logam sangat dibatasi oleh beberapa kelemahan seperti ukurannya yang sangat kecil, berat jenisnya yang rendah dan mudah rusak karena degradasi oleh mikroorganisme lain. Untuk mengatasi kelemahan tersebut berbagai upaya dilakukan, diantaranya dengan mengimmobilisasi biomassanya. Immobilisasi biomassa dapat dilakukan dengan mengunakan (1) Matrik polimer seperti polietilena glikol, akrilat, (2) oksida (oxides) seperti alumina, silika, (3) campuran oksida (mixed oxides) seperti kristal aluminasilikat, asam polihetero, dan (4) Karbon.

Berbagai mekanisme yang berbeda telah dipostulasikan untuk ikatan antara logam dengan alga/biomassa seperti pertukaran ion, pembentukan kompleks koordinasi, penyerapan secara fisik, dan pengendapan mikro. Tetapi hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa mekanisme pertukaran ion adalah yang lebih dominan. Hal ini dimungkinkan karena adanya gugus aktif dari alga/biomassa seperti karboksil, sulfat, sulfonat dan amina yang akan berikatan dengan ion logam.

Alga Laut sebagai Sumber Senyawa Bioaktif

Alga hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan (1) industri farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau sebagai reversal agent dan (2) industri agrokimia terutama untuk antifeedant, fungisida dan herbisida.

Kemampuan alga untuk memproduksi metabolit sekunder terhalogenasi yang bersifat sebagai senyawa bioaktif dimungkinkan terjadi, karena kondisi lingkungan hidup alga yang ekstrem seperti salinitas yang tinggi atau akan digunakan untuk mempertahankan diri dari ancaman predator. Dalam dekade terakhir ini, berbagai variasi struktur senyawa bioaktif yang sangat unik dari isolat alga merah telah berhasil diisolasi. Namun pemanfaatan sumber bahan bioaktif dari alga belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, alga laut kaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut oxylipin. Melalui senyawa ini berbagai jenis senyawa metabolit sekunder diproduksi.

Alga Laut sebagai Sumber Senyawa Alginat

Alginat merupakan konstituen dari dinding sel pada alga yang banyak dijumpai pada alga coklat (Phaeophycota). Senyawa ini merupakan heteropolisakarida dari hasil pembentukan rantai monomer mannuronic acid dan gulunoric acid. Kandungan alginat dalam alga tergantung pada jenis alganya. Kandungan terbesar alginat (30-40 % berat kering) dapat diperoleh dari jenis Laminariales sedangkan Sargassum Muticum, hanya mengandung 16-18 % berat kering.

Pemanfaatan senyawa alginat didunia industri telah banyak dilakukan seperti natrium alginat dimanfaatkan oleh industri tektil untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas bahan industri, kalsium alginat digunakan dalam pembuatan obat-obatan. Senyawa alginat juga banyak digunakan dalam produk susu dan makanan yang dibekukan untuk mencegah pembentukan kristal es. Dalam industri farmasi, alginat digunakan sebagai bahan pembuatan pelapis kapsul dan tablet. Alginat juga digunakan dalam pembuatan bahan biomaterial untuk tehnik pengobatan seperti micro-encapsulation dan cell transplantation.

Alga Laut sebagai Penghasil Bioetanol dan Biodiesel

Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi alga laut sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin. Keuntungan lebih yang dapat diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa penyemaian benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan panen yang terus-terusan (continuous) yang dikarenakan waktu tanam alga hanya 1 minggu.

Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel dari alga laut.


Sumber : Tatang H. Soerawidjaja (2005)

Alga Laut sebagai Pupuk Organik

Dikarenakan kandungan kimiawi yang terdapat dalam alga laut merupakan nutrien yang sangat penting bagi semua mahluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan, maka alga laut dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif penganti pupuk-pupuk pertanian yang mengandung bahan kimia sintesis.

Alga dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung bahan-bahan mineral seperti potasium dan hormon seperti auxin dan sytokinin yang dapat meningkatkan daya tumbuh tanaman untuk tumbuh, berbunga dan berbuah. Pemanfaatan alga sebagai pupuk organik ditunjang pula oleh adanya sifat hydrocolloids pada alga laut yang dapat dimanfaatkan untuk penyerapan air (daya serap tinggi) dan menjadi substrat yang baik untuk mikroorganisme tanah.

Penutup

Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km. Disepanjang garis pantai, tumbuh dan berkembang berbagai jenis alga laut yang berpotensi sebagai biotarget industri. Berbagai riset mutlak dilakukan untuk pemanfaatan secara optimal kekayaan hayati ini secara berkelanjutan. Riset-riset kimiawan terutama dituntut untuk mencari bahan baku industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk turunan berbasis alga, dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam hubungannya sebagai bagian dari ekosistem.

PEMANFAATAN MINYAK TANAH DAN SOLAR

Ancaman beban subsidi BBM yang mencapai lebih dari 60 trilyun rupiah (Kompas, 13 Mei 2005) memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM - sebuah issue klasik yang selalu terjadi pada berbagai era pemerintahan di republik tercinta. Kenaikan harga solar yang menembus Rp 2,000 per liter jelas menjadi pukulan yang cukup telak bagi kalangan nelayan tradisional. Dalam kondisi antara "hidup dan mati" nelayan tradisional di tanah air terpaksa melakukan pilihan "cerdas" substitusi solar menggunakan minyak tanah untuk rumah tangga yang masih mendapatkan subsidi pemerintah. Meski menyalahi peruntukannya, tidak sedikit yang bersimpati dengan nasib para nelayan. Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin (Republika, 16 Juni 2005), anggota DPRD Jateng, Sutoyo Abadi dan anggota MPR, Bambang Raya Saputra (Kompas, 21 Agustus 2003) adalah beberapa pejabat yang tercatat bersimpati dengan nasib para nelayan tersebut. Tidak mudah untuk menyalahkan tindakan substitusi solar dengan minyak tanah yang dilakukan nelayan. Ini berbeda dengan tindakan nakal para "pengoplos" solar/bensin dengan minyak tanah, ataupun kalangan industri yang membeli jatah minyak tanah untuk rumah tangga: keduanya jelas meresahkan masyarakat. Tulisan singkat ini tidak berpretensi membahas dimensi sosial-politik-ekonomi tindakan para nelayan tersebut, namun mencoba memberikan gambaran penggunaan substitusi solar dengan minyak tanah tersebut dari sisi ilmiah.

Perkerabatan minyak tanah dan solar

Minyak tanah, solar, bensin, avtur (bahan bakar pesawat) merupakan produk minyak bumi yang berintikan hidrokarbon (tersusun atas atom hidrogen dan karbon) serta sejumlah zat lain, seperti nitrogen, oksigen, sulfur, dan sejumlah kecil unsur logam. Produk-produk minyak bumi tersebut dipisahkan dengan cara distilasi. Temperatur distilasi akan menentukan produk yang dihasilkan dari minyak bumi. Minyak tanah (light kerosene) memiliki rentang rantai karbon dari C10 - C15, sedangkan solar antara C10 - C20 (sumber: Wikipedia). Perbedaan minyak tanah dengan kerosene untuk bahan bakar pesawat adalah bahwa pada minyak tanah masih terdapat banyak unsur pengotor, baik skala molekuler ataupun partikel (debris). Dengan kata lain, minyak tanah adalah kerosene dengan mutu rendah.

Sekilas mesin diesel

Dunia otomotif pada umumnya didominasi oleh mesin diesel dan bensin. Perbedaan prinsip antara kedua mesin tersebut terletak pada sisi pengapian bahan bakarnya: mesin diesel menggunakan prinsip auto-ignition (terbakar sendiri), sedangkan mesin bensin menggunakan prinsip spark-ignition (pembakaran yang dipicu oleh percikan listrik pada busi). Mesin diesel memiliki rasio kompresi (perbandingan antara volume total silinder dan volume sisa/dead space) yang sangat tinggi: bisa mencapai 25:1. Tingginya rasio kompresi ini merupakan tuntutan mekanisme auto-ignition - perlu kompresi yang sangat tinggi untuk menghasilkan tekanan dan temperatur tinggi pada udara di dalam silinder. Sedangkan mesin bensin yang menggunakan spark-ignition tidak memerlukan kompresi tinggi pada campuran bahan bakar udaranya - justru rasio kompresi yang terlalu tinggi pada mesin bensin akan mengancam terjadinya knocking (fenomena terbakarnya bahan bakar sebelum waktunya - berpotensi menurunkan performa mesin dan menimbulkan kerusakan pada komponen mesin). Tingginya rasio kompresi pada mesin diesel memiliki aspek ganda: secara termodinamika, rasio kompresi yang tinggi akan meingkatkan efisiensi mesin, namun di sisi lain rasio kompresi yang tinggi juga menuntut kekuatan material dan assembly yang lebih tinggi pada mesin diesel. Perkembangan teknologi pada mesin diesel memungkinkan penggunaan mesin diesel pada kendaraan-kendaraan pribadi, bahkan hingga kendaraan mewah.

Bahan bakar mesin diesel

Terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan pada bahan bakar mesin diesel, diantaranya: (1) Angka cetane, yang menunjukkan tingkat kemudahan keterbakaran (flammability) (2) Sifat korosif bahan bakar terhadap komponen mesin (3) Potensi endapan/residu yang bisa timbul akibat pembakaran bahan bakar (4) Sifat lubrikasi bahan bakar terhadap komponen ruang bakar, dan (5) Zat-zat kimia berbahaya yang terdapat di dalam bahan bakar atau merupakan produk pembakaran (emisi gas buang). Berdasar informasi dari website Pertamina, angka cetane solar di tanah air berkisar antara 45 sampai 48. Angka tersebut tergolong rendah untuk ukuran Eropa, karena beberapa mobil bermesin diesel keluaran mereka telah mensyaratkan angka cetane sekitar 54/55 (Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2004). Belum lagi dengan kandungan sulfur yang tinggi, yakni 0.5 wt% (500 ppm). Bandingkan dengan target Amerika mengenai kandungan sulfur pada solar yang diwajibkan pada tahun 2006 bisa mencapai 15 ppm, sedangkan Jepang dan Uni Eropa mensyaratkan kandungan sulfur pada solar mencapai 50 ppm pada 2005 dan kurang dari 10 ppm pada 2009. Di sisi lain, sulfur memberikan efek pelumasan pada komponen mesin diesel - sehingga pengurangan kandungan sulfur mewajibkan produsen untuk memberikan aditif untuk pelumasan. 

Berbeda dengan bensin yang memiliki rantai karbon lebih pendek, rantai karbon solar yang panjang menyebabkan besarnya energi yang diperlukan untuk menghancurkan seluruh ikatan molekuler pada solar: timbulnya asap hitam yang khas pada saluran buang mesin diesel disebabkan tidak semua partikel solar dapat dihancurkan. Meski demikian, saat ini telah dikembangkan teknologi injeksi solar tekanan sangat tinggi (common-rail direct injection) ke dalam ruang bakar: ini membantu penghancuran partikel-partikel solar (Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2004).

Substitusi solar dengan minyak tanah

Dilihat dari dekatnya rantai karbon pada hidrokarbon yang merupakan penyusun inti solar dan minyak tanah, substitusi solar dengan minyak tanah bukanlah sesuatu yang di luar dugaan. Dari website Pertamina diketahui bahwa minyak tanah memiliki kandungan sulfur yang lebih rendah dibandingkan solar (minyak tanah 0.2 wt% sedangkan solar 0.5 wt%). Ini berarti minyak tanah memiliki kemampuan pelumasan yang lebih buruk dibandingkan solar. Meski lebih baik untuk lingkungan, penggunaan minyak tanah tanpa aditif pelumas akan menyebabkan komponen mesin lebih cepat aus dalam jangka panjang. Dari segi korosivitas, minyak tanah tidak berbeda dengan solar.

Belum banyak penelitian yang membahas dampak pencampuran minyak tanah dan solar terhadap performansi mesin dan emisi gas buangnya. Asfar dan Hamed (1996) dari Jordan University of Science and Technology melaporkan bahwa pencampuran solar dan kerosene berhasil meminimalkan dampak negatif masing-masing komponen dan meningkatkan efisiensi thermal mesin. Pembakaran kerosene berlangsung pada temperatur tinggi: ini berpotensi menimbulkan NO (Nitrogen Oxide) yang pada kondisi lingkungan akan mudah membentuk NO2 (Nitrogen Dioxide) yang bersifat racun. Sedangkan dampak negatif pembakaran solar terhadap manusia terutama terletak pada ketidakmampuannya untuk menghancurkan semua hidrokarbon (tinggi kadar UHC ・Unburn Hydrocarbon). Dengan pencampuran kerosene dan solar, kedua dampak negatif tadi, NO dan UHC bisa ditekan. Namun sayang sekali tidak terdapat penegasan jenis kerosene yang digunakan dalam studi tersebut. Minimal ini bisa memberikan gambaran dampak thermal dan emisi akibat pencampuran minyak tanah dengan solar.

Praktek substitusi solar dengan minyak tanah di tanah air

Pikiran Rakyat, 13 Juni 2005, memberitakan sinyalemen dari Ketua Hiswana Migas (Perhimpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi) Cirebon, Andi Ahsan Effendi, bahwa sebelum digunakan sebagai bahan bakar, minyak tanah tersebut dicampur dengan oli bekas. Langkah tersebut kemungkinan dimaksudkan agar minyak tanah tersebut mampu memberikan efek pelumasan pada mesin diesel. Namun penggunaan oli bekas jelas mengundang resiko yang tidak ringan. Terdapat dua kekeliruan fatal pada penggunaan oli bekas sebagai aditif minyak tanah; pertama: oli bekas umumnya adalah oli mesin yang tidak dicampurkan langsung dengan bahan bakar, namun bekerja di luar ruang bakar (meski bisa juga berfungsi untuk melumasi komponen ruang bakar). Oli mesin jenis ini memiliki spesifikasi yang sangat berbeda dengan oli yang memang dicampurkan langsung pada bahan bakar. Oli yang langsung dicampurkan dengan bahan bakar (umumnya pada mesin 2 langkah) memiliki kegunaan, selain untuk pelumasan juga untuk mencegah terjadinya endapan di dalam ruang bakar. Sedangkan oli pelumas yang digunakan di luar ruang bakar tidak memiliki spesifikasi tersebut. Penggunaan oli pelumas semacam ini justru berpotensi menyebabkan terjadinya endapan di dalam ruang bakar. Endapan di dalam ruang bakar, selain menurunkan kinerja mesin, juga berpotensi menimbulkan kerusakan komponen ruang bakar - yang tidak murah dalam perbaikannya. Kekeliruan fatal kedua: pada oli bekas, ada kemungkinan terdapatnya partikel (debris) logam sebagai akibat gesekan antar logam pada mesin terdahulu. Masuknya partikel logam di ruang bakar jelas merupakan bahaya tersendiri bagi komponen ruang bakar. Sedangkan dari aspek rantai karbon, oli pada umumnya terbuat dari produk minyak bumi dengan jumlah karbon C16 - C20. Ini berpotensi menimbulkan sisa hidrokarbon (UHC) yang berbahaya bila terhirup dalam jumlah tertentu ke dalam pernapasan (sama dengan solar). Apalagi bila partikel-partikel logam juga sampai keluar dari mesin dan terhirup manusia ・ini akan memberikan dampak yang lebih buruk.

Kesimpulan

Secara teoritik, minyak tanah memang bisa digunakan sebagai substitusi solar pada mesin diesel. Kajian ilmiah pencampuran kerosene dan solar juga memberikan dampak positif baik dari sisi emisi gas buang ataupun efisiensi thermal. Namun perlu disadari bahwa minyak tanah tidak memiliki spesifikasi khusus untuk bahan bakar mesin pembakaran dalam (internal combustion engine). Dari kajian singkat di atas dapat dilihat bahwa minyak tanah tidak memiliki kemampuan pelumasan sebaik solar. Penggunaan oli bekas sebagai aditif pelumasan pada minyak tanah justru mengundang bahaya tersendiri, baik bagi mesin dan manusia di sekitarnya. Dampak negatif oli bekas tersebut akan mungkin timbul dalam jangka panjang secara kumulatif: baik bagi mesin, terlebih lagi bagi manusia di sekitarnya. Ketidakmampuan nelayan membeli solar adalah fakta: pemerintah mestinya melakukan tindakan darurat bagi mereka tanpa menimbulkan potensi bahaya yang lebih besar.

Yuli Setyo Indartono adalah mahasiswa doktoral di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Jepang. Email: indartono@yahoo.com 

 
Teknologi Plasma untuk Daur Ulang Limbah Oil Sludge   
Written by ColorLora   
Saturday, 10 June 2006 
Oleh: Anto Tri Sugiarto (Sumber Berita Iptek, 29 September 2004 ) 

Berbagai kasus pencemaran limbah beracun berbahaya (B3) dari penambangan minyak di Indonesia, hingga saat ini belum pernah ditangani dengan serius. Kasus pencemaran akibat oil sludge atau endapan pada tangki penyimpanan minyak industri perminyakan, seperti di Tarakan (Kalimantan Timur), Riau, Sorong (Papua), dan terakhir kasus pencemaran di Indramayu sudah seharusnya menjadi catatan penting bagi para pengelola penambangan minyak akan pentingnya pengolahan limbah oil sludge di tanah air. 

Teknologi plasma banyak diterapkan sebagai salah satu teknik pengolahan limbah. Plasma umumnya dipergunakan pada pengolahan limbah padat. Di negara maju seperti Jepang plasma dipergunakan untuk mengolah logam atau limbah domestik pada insinerator sekaligus dapat mendaur ulang limbah logam berat seperti timbal (Pb) dan seng (Zn) yang terkandung limbah tersebut. 

Dewasa ini, teknologi plasma juga dapat diterapkan dalam mengolah limbah oil sludge. Plasma tidak hanya dapat mengolah oil sludge, tapi sekaligus dapat mendaur ulang limbah yang umumnya mengandung sekitar 40% minyak. Dengan mengolah oil sludge akan menghasilkan light oil seperti minyak diesel yang siap pakai, dan residu dari proses pengolahan siap dan aman untuk dibuang (landfill). 

Oil sludge 

Limbah dari proses penyulingan minyak mentah (crude oil) dalam industri perminyakan sangatlah komplek. Limbah yang dihasilkan dapat diklasifikasikan sebagai limbah gas, cair dan padat. Kandungan limbah gas buangan seperti, volatile hydrocarbon, CO, NOx, dan SOx dapat mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat disekitarnya. Begitupula dengan limbah cair dari sisa proses penyulingan umumnya memiliki kandungan minyak, bahan-bahan kimia seperti, timbal, sulphide, phenol, dan chloride yang merupakan limbah beracun berbahaya. 

Limbah padat yang dihasilkan disebut oil sludge. Dimana minyak hasil penyulingan (refines) dari minyak mentah biasanya disimpan dalam tangki penyimpanan. Oksidasi proses yang terjadi akibat kontak antara minyak, udara dan air menimbulkan adanya sedimentasi pada dasar tangki penyimpanan, endapan ini adalah oil sludge. Oil sludge terdiri dari, minyak (hydrocarbon), air, abu, karat tangki, pasir, dan bahan kimia lainnya. Kandungan dari hydrocarbon antara lain benzene, toluene, ethylbenzene, xylenes, dan logam berat seperti timbal (Pb) pada oil sludge merupakan limbah B3 yang dalam pengelolaannya harus mengacu pada peraturan pemerintah no. 18 tahun 1999, dimana limbah B3 harus diproses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak beracun dan berbahaya. 

Sebenarnya banyak teknik pengolahan limbah oil sludge yang dapat diaplikasikan seperti, incineration (pembakaran), centrifuges (pemisahan), steam extraction (ekstraksi), dan bioremediation (microbiologi). Namun, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa teknologi tersebut masih jauh dari yang diharapkan, ditambah lagi dengan biaya operasional yang masih sangat mahal. 

Daur ulang limbah oil sludge 

Dewasa ini pemanfaatan plasma dengan suhu tinggi (thermal plasma) dalam berbagai proses industri meningkat. Thermal plasma adalah gas yang terionisasi (ionized gas), dengan suhu tinggi diatas 10.000 ・. Thermal plasma dapat dibuat dengan electric arc, yang terbentuk diantara dua elektroda, dalam sebuah alat yang disebut plasma torch. Dengan memasukkan gas seperti, udara, argon, nitrogen, steam dan lain sebagainya kedalam plasma torch, atom atau molekul gas akan bertumbukan dengan elektron yang terbentuk dalam electric arc. Hasil dari proses ini adalah panas dan gas terionisasi yang akan memproduksi thermal plasma jet dengan temperature yang sangat tinggi. 

Plasma yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk mengolah dan mendaur ulang limbah oil sludge. Plasma yang dihasilkan oleh plasma torch dapat dioperasikan pada suhu 15.000 ・. Plasma ini dapat dipergunakan untuk menguapkan senyawa organik (hydrocarbon) yang terkandung dalam oil sludge. Senyawa organik yang menguap dapat dibentuk kembali dalam bentuk minyak, dan dapat dimanfaatkan. 

Prose sistem pengolahan limbah oil sludge dengan plasma dapat dilihat pada Gambar 2. Energi yang diperlukan dalam proses dibentuk dalam plasma torch. Gas yang dipergunakan dalam torch adalah argon atau nitrogen (dalam hal ini tidak ada oksigen). Gas organik yang yang terbentuk dalam reaktor bersamaan dengan gas argon atau nitrogen kemudian dimasukkan kedalam kondensor, untuk mengubah uap gas tadi menjadi cairan. Setelah melalui pendinginan dalam kondensor cairan yang terbentuk dari gas organik tadi adalah light oil yang 100% dapat dipergunkan kembali. Gas argon atau nitrogen sendiri dapat dipergunakan kembali dalam reaktor proses. 

Normal operasi temperatur yang dipergunakan dalam proses ini adalah sekitar 800 hingga 1200 derajat celcius, suhu terbaik yang dibutuhkan untuk menguapkan kandungan hydrocarbon dalam oil sludge. Kondisi dalam reaktor proses dikondisikan sedemikian rupa agar tidak terjadi proses oksidasi pada material hydrocarbon dan dapat mendukung proses pembentukan minyak pada condensator. Residu yang dihasilkan dari proses ini akan bebas dari kandungan hydrocarbon, dan siap untuk dibuang ke TPA dengan aman. Apabila pada oil sludge terkandung logam berat seperti timbal proses lanjutan dengan plasma dapat dilakukan untuk mendaur ulang logam tersebut. 

Beberapa kelebihan dari pemanfaatan proses ini adalah energi efisiensinya dapat mencapai 80%, hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada proses yang menggunakan gas atau bahan bakar minyak lain yang hanya dapat mencapai 20%. Juga plasma proses akan lebih efektif jika diaplikasikan pada limbah oil sludge yang memiliki kandungan hydrocarbon di atas 10%. Selanjutnya, kandungan hydrocarbon pada residu yang dihasilkan berkisar dibawah 0.01% dari total hydrocarbon. 

Dengan menerapkan plasma proses pada limbah oil sludge diharapkan pencemaran lingkungan dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat dapat dihindari. Lebih dari pada itu oil sludge dapat didaur ulang sehingga dapat menjadikan nilai tambah bagi industri perminyakan nasional.